Amalan Malam Nishfu Sya’ban dan Fadhilahnya

Sya’ban adalah salah satu bulan istimewa, bulan yang dihormati dalam agama Islam, selain Muharram, Dzulhijjah dan Rajab. Lebih utama lagi pada malam ke lima belas, yang dikenal dengan nama malam Nisfu Sya’ban.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Mu‘az bin Jabal Radhiallahu ‘anhu, bahwa pada malam ini “Allah menjenguk datang kepada semua makhlukNya di Malam Nishfu Sya‘ban, maka diampuni segala dosa makhlukNya kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, at-Thabrani dan Ibnu Hibban).Begitu juga hadits riwayat Aisyah r.a.

عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قام رسول الله من الليل يصلي، فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قبض، فلما رأيت ذلك قمت حتى حركت إبهامه فتحرك فرجعت، فلما رفع إلي رأسه من السجود وفرغ من صلاته، قال: يا عائشة أظننت أن النبي قد خاس بك؟، قلت: لا والله يا رسول الله، ولكنني ظننت أنك قبضت لطول سجودك، فقال: أتدرين أي ليلة هذه؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال: هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده في ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين، ويرحم المسترحمين، ويؤخر أهل الحقد كما هم»

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira’), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?”Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Ini adalah malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan sya’ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya’ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)

Begitulah kemurahan Allah swt yang diberikan kepada hambanya di malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dalam kesempatan lain Aisyah meriwayatkan hadits lagi dengan banyaknya pengampunan itu semisal bulu kambing Bani Kalb

عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قال رسول الله : “إن الله ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا، فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب”

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)

Demikianlah hendaknya kesempatan ini tidak disia-siakan. Seorang muslim yang bijak tentunya akan memanfaatkan malam Nisfu Sya’ban sebaik-baiknya, dengan sebaik-baiknya memohon pengampunan dan melaksanakan amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Demikian hadits riwayat Ali bin Abi Thalib menegaskan

عن علي بن أبي طالب قال: «قال رسول الله : “إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله ينزل فيها إلى سماء الدنيا فيقول ألا من مستغفر فأغفر له ، ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتلى فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر

Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: “Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing.” (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).

Amalan Malam Nisfu Sya’ban
Berbagai amalan malam Nisfu Sya’ban dapat dimulai setelah sholat maghrib. Berpegang pada hadits Rasulullah saw, sebaiknya ibadah malam Nisfu Sya’ban ini dilakukan secara individual (tidak berjama’ah). Namun juga tidak ada pelarangan jika dilakukan secara berjama’ah. Dengan didahului shalat sunnah dua rakaat yang niatnya adalah

أصلى سنة نصف شعبان ركعتين لله تعالى

Artinya: Aku niat shalat sunat nisfu sya’ban 2 rakaat sebagai karena Allah Ta’ala.
Bilangan shalat sunnah Nisfu Sya’ban adalah 2 rakaat dengan 1 kali salam. Pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Kafirun. Sedangkan pada rakaat setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlas.

Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam Ghazali memberikan petunjuk agar dalam setiap rekaatnya setelah membaca fatihah hendaknya membaca surat al-Ikhlas sebelas kali. Atau dapat juga shalat sepuluh rakaat disetiap rakaatnya membaca Fatihah dan membaca al-Ikhlas seratus kali. Shalat ini disebut juga shalat al-khair, hal ini berdasar pada apa yang dilakukan oleh para ulama terdahulu.

Setelah shalat sunnah dua rekaat biasanya dilanjutkan dengan membaca surat yasin tiga kali yang dan ditutup dengan do’a malam Nisyfu Sya’ban di bawah ini

اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَ لا يَمُنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَ اْلاِكْرَامِ ياَ ذَا الطَّوْلِ وَ اْلاِنْعَامِ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَ اَمَانَ اْلخَائِفِيْنَ . اَللَّهُمَّ اِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِى عِنْدَكَ فِيْ اُمِّ اْلكِتَابِ شَقِيًّا اَوْ مَحْرُوْمًا اَوْ مَطْرُوْدًا اَوْ مُقْتَرًّا عَلَىَّ فِى الرِّزْقِ فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ فِيْ اُمِّ اْلكِتَابِ شَقَاوَتِي وَ حِرْمَانِي وَ طَرْدِي وَ اِقْتَارَ رِزْقِي وَ اَثْبِتْنِىْ عِنْدَكَ فِي اُمِّ اْلكِتَابِ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ اْلحَقُّ فِى كِتَابِكَ الْمُنْزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ اُمُّ اْلكِتَابِ. اِلهِيْ بِالتَّجَلِّى اْلاَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ وَ يُبْرَمُ اِصْرِفْ عَنِّيْ مِنَ اْلبَلاَءِ مَا اَعْلَمُ وَ مَا لا اَعْلَمُ وَاَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ . اَمِيْنَ

Artinya:
Ya Allah, Dzat Pemilik anugrah, bukan penerima anugrah. Wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Wahai dzat yang memiliki kekuasaan dan kenikmatan. Tiada Tuhan selain Engkau: Engkaulah penolong para pengungsi, pelindung para pencari perlindungan, pemberi keamanan bagi yang ketakutan. Ya Allah, jika Engkau telah menulis aku di sisiMu di dalam Ummul Kitab sebagai orang yang celaka atau terhalang atau tertolak atau sempit rezeki, maka hapuskanlah, wahai Allah, dengan anugrahMu, dari Ummul Kitab akan celakaku, terhalangku, tertolakku dan kesempitanku dalam rezeki, dan tetapkanlah aku di sisimu, dalam Ummul Kitab, sebagai orang yang beruntung, luas rezeki dan memperoleh taufik dalam melakukan kebajikan. Sunguh Engkau telah berfirman dan firman-Mu pasti benar, di dalam Kitab Suci-Mu yang telah Engkau turunkan dengan lisan nabi-Mu yang terutus: “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendakiNya dan di sisi Allah terdapat Ummul Kitab.” Wahai Tuhanku, demi keagungan yang tampak di malam pertengahan bulan Sya’ban nan mulia, saat dipisahkan (dijelaskan, dirinci) segala urusan yang ditetapkan dan yang dihapuskan, hapuskanlah dariku bencana, baik yang kuketahui maupun yang tidak kuketahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, demi RahmatMu wahai Tuhan Yang Maha Mengasihi. Semoga Allah melimpahkan solawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Amin.

Amalan Di Malam Nisfu Sya’ban, Bid’ah kah ??

Banyak orang menuduh shalat nisfu Sya’ban sebagai bid’ah. Mereka menuduh demikian bisa jadi dengan niat yang baik untuk membersihkan praktek ibadah dari Bid’ah dan mengembalikan agar ibadah yang dilakukan sesuai sunah Rasul. Alasannya sangat sederhana karena shalat Nisfu Sya’ban tidak pernah dikerjakan jaman Rasul. Benarkah shalat Nisfu Sya’ban bidah? Apakah nabi tidak pernah melakukannya?

Untuk lebih melengkapi khazanah kita, akan kami paparkan pula beberapa pertanyaan yang mengingkari shalat nisfu Sya’ban dari berbagai dialog. Antara lain:

Pertanyaan Pertama:
Tidak ada keistimewaan malam nisfu Sya’ban dibandingkan malam lainnya. Sehingga tidak perlu mengkhususkan ibadah pada malam tersebut. Beberapa Hadis yang menerangkan keutamaan nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu) dan dha’if. Sehingga tidak boleh diamalkan.

Para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnul Jauzi, Imam al-Ghazali, Ibnu Katsir dan yang lainnya, menyatakan hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya’ban ini sangat banyak jumlahnya. Hanya, umumnya hadits-hadits tersebut dhaif, namun ada juga beberapa hadits yang Hasan dan Shahih Lighairihi. Untuk lebih jelasnya, berikut di antara hadits-hadits dimaksud:

Hadis 1

عن علي بن إبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها, وصوموا نهارها, فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا, فيقول: ألا مستغفر فأغفرله, ألا مسترزق فأرزقه, ألا مبتلى فأعافيه, ألا كذا ألا كذا, حتى يطلع الفجر)) [رواه ابن ماجه والحديث ضعفه الألبانى]
Artinya: “Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda: “Apabila sampai pada malam Nishfu Sya’ban, maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah akan turun ke dunia pada malam tersebut sejak matahari terbenam dan Allah berfirman: “Tidak ada orang yang meminta ampun kecuali Aku akan mengampuni segala dosanya, tidak ada yang meminta rezeki melainkan Aku akan memberikannya rezeki, tidak ada yang terkena musibah atau bencana, kecuali Aku akan menghindarkannya, tidak ada yang demikian, tidak ada yang demikian, sampai terbit fajar” (HR. Ibnu Majah dan hadits tersebut dinilai Hadits Dhaif oleh Syaikh al-Albany).

Hadis 2

عن عائشة قالت: فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافع رأسه إلى السماء, فقال: ((أكنت تخافين إن يحيف الله عليك ورسوله؟)) فقلت: يا رسول الله, ظننت أنك أتيت بعض نسائك. فقال: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب)) [رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وضعفه الألبانى فى ضعيف الترمذى].

Artinya: “Siti Aisyah berkata: “Suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw, lalu aku mencarinya. Ternyata beliau sedang berada di Baqi’ sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau bersabda: “Apakah kamu (wahai Aisyah) khawatir Allah akan menyia-nyiakan kamu dan RasulNya?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, saya pikir anda pergi mendatangi di antara isteri-isterimu”. Rasulullah saw bersabda kembali: “Sesungguhnya Allah turun ke dunia pada malam Nishfu Sya’ban dan mengampuni ummatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan” (HR. Ahmad, Ibn Majah dan Turmidzi. Syaikh al-Albany menilai hadits riwayat Imam Turmudzi tersebut sebagai hadits Dhaif sebagaimana ditulisnya pada ‘Dhaifut Turmudzi’).

Kedua hadits tersebut adalah hadits yang dinilai Dhaif oleh jumhur Muhaditsin di antaranya oleh Syaikh Albany, seorang ulama yang tekenal sangat ketat dengan hadits.

Namun demikian, di bawah ini juga penulis hendak mengetengahkan Hadits Hasan dan Shahih Lighairihi yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya’ban ini. Hadits-hadits dimaksud adalah:

Hadis 3

عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه, إلا لمشرك أو مشاحن)) [رواه ابن ماجه وحسنه الشيخ الألبانى فى صحيح ابن ماجه (1140)]
Artinya: “Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah muncul (ke dunia) pada malam Nishfu Sya’ban dan mengampuni seluruh makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang dengki dan iri kepada sesama muslim” (HR. Ibn Majah, dan Syaikh Albani menilainya sebagai hadits Hasan sebagaimana disebutkan dalam bukunya Shahih Ibn Majah no hadits 1140).

Hadis 4

عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا اثنين: مشاحن, أو قاتل نفس)) [رواه أحمد وابن حبان فى صحيحه]
Artinya: “Dari Abdullah bin Amer, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya akan menemui makhlukNya pada malam Nishfu Sya’ban, dan Dia mengampuni dosa hamba-hambanya kecuali dua kelompok yaitu orang yang menyimpan dengki atau iri dalam hatinya kepada sesama muslim dan orang yang melakukan bunuh diri” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban sebagaimana ditulisnya dalam buku Shahihnya).

Namun, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai hadits tersebut hadits yang lemah, karena dalam sanadnya ada dua rawi yang bernama Ibn Luhai’ah dan Huyay bin Abdullah yang dinilainya sebagai rawi yang lemah. Namun demikian, ia kemudian mengatakan bahwa meskipun dalam sanadnya lemah, akan tetapi hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits Shahih karena banyak dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya (Shahih bi Syawahidih).

Hadis 5

عن عثمان بن أبي العاص مرفوعا قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا كان ليلة النصف من شعبان نادى مناد: هل من مستغفر فأغفر له؟ هل من سائل فأعطيه؟ فلا يسأل أحد شيئا إلا أعطيه, إلا زانية بفرجها أو مشركا)) [رواه البيهقى]
Artinya: “Dari Utsman bin Abil Ash, Rasulullah saw bersabda: “Apabila datang malam Nishfu Sya’ban, Allah berfirman: “Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik” (HR. Baihaki).

Dengan memperhatikan, di antaranya, hadits-hadits di atas, maka tidak berlebihan apabila banyak ulama berpegang teguh bahwa malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang istimewa, karena bukan hanya dosa-dosa akan diampuni, akan tetapi juga doa akan dikabulkan. Hadits-hadits yang dipandang Dhaif yang berbicara seputar keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, paling tidak kedudukan haditsnya menjadi terangkat oleh hadits-hadits lain yang berstatus Hasan atau Shahih Lighairihi.

Atau boleh juga dikatakan, karena hadits-hadits dhaif yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya’ban ini dhaifnya tidak parah dan tidak berat, maka satu sama lain menjadi saling menguatkan sehingga kedudukannya naik menjadi Hadits Hasan Lighairihi. Wallahu’alam.

Istimewanya malam Nishfu Sya’ban ini juga dikuatkan oleh atsar para sahabat. Imam Ali bin Abi Thalib misalnya, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab, apabila datang malam Nishfu Sya’ban, ia banyak keluar rumah untuk melihat dan berdoa ke arah langit, sambil berkata: “Sesungguhnya Nabi Daud as, apabila datang malam Nishfu Sya’ban, beliau keluar rumah dan menengadah ke langit sambil berkata: “Pada waktu ini tidak ada seorang pun yang berdoa pada malam ini kecuali akan dikabulkan, tidak ada yang memohon ampun, kecuali akan diampuni selama bukan tukang sihir atau dukun”. Imam Ali lalu berkata: “Ya Allah, Tuhannya Nabi Daud as, ampunilah dosa orang-orang yang meminta ampun pada malam ini, serta kabulkanlah doa orang-orang yang berdoa pada malam ini”.

Sebagian besar ulama Tabi’in seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya, juga mengistimewakan malam ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, membaca al-Qur’an dan berdoa. Demikian juga hal ini dilakukan oleh jumhur ulama Syam dan Bashrah.

Bahkan, Imam Syafi’i pun beliau mengistimewakan malam Nishfu Sya’ban ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, doa dan membaca al-Qur’an. Hal ini sebagaimana nampak dalam perkataannya di bawah ini:

بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال: ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه الليالي
Artinya: “Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum’at, malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nishfu Sya’ban. Imam Syafi’i berkata kembali: “Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi”.

Dari pemaparan di atas nampak bahwa sebagian besar para ulama salaf memandang istimewa malam ini, karenanya mereka mengisinya dengan mempergiat dan memperbanyak ibadah termasuk berdoa, shalat dan membaca al-Qur’an.

Pertanyaan Kedua:
Shalat Nisfu Sya’ban Bid’ah karena tidak pernah dilakukan Rasul. Sehingga ibadah mereka tidak sesuai sunnah Rasul.
Nama panjang dari shalat Nisfu Sya’ban adalah “SHALAT MUTHLAQ yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban”. Untuk memudahkan pengucapan, ulama menyebutnya shalat nisfu Sya’ban.

Karena termasuk jenis shalat Muthlaq, maka boleh dikerjakan kapan saja termasuk malam pertengahan Sya’ban selama dikerjakan tidak pada waktu yang dilarang. Kalau pada malam yang lain boleh melakukan shalat Muthlaq, maka pada malam nisfu Sya’ban juga boleh.

Membid’ahkan shalat nisfu Sya’ban sama dengan membid’ahkan shalat Muthlaq yang sunnah.

Apalagi ada hadis yang menyatakan bahwa Rasul menggiatkan qiyamul layl pada malam nisfu Sya’ban. Semakin kuat lah dasar shalat nisfu Sya’ban.

ومنها حديث عائشة ـ رضي الله عنها ـ قام رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الليل فصلى فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قُبِضَ، فَلَمَّا رفع رأسه من السجود وفرغ من صلاته قال: “يا عائشة ـ أو يا حُميراء ـ ظننت أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قد خَاسَ بك”؟ أي لم يعطك حقك . قلت: لا والله يا رسول الله ولكن ظننت أنك قد قبضتَ لطول سجودك، فقال: “أَتَدْرِينَ أَيُّ ليلة هذه”؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال “هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين ، ويرحم المسترحِمِينَ، ويُؤخر أهل الحقد كما هم” رواه البيهقي من طريق العلاء بن الحارث عنها، وقال: هذا مرسل جيد.
Dari A’isyah: “Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.

Bahkan kalau kita menyandarkan pada hadis di atas, justru MEREKA YANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN IBADAHNYA SESUAI SUNNAH RASUL.

Pertanyaan Ketiga:
Shalat Nisfu Sya’ban saja Bid’ah, apalagi melakukannya secara berjamaah. Semakin jauh dari Islam. Kalaulah memang bagus mengapa Rasul dan sahabat tidak melakukan? Padahal Mereka adalah generasi terbaik.

Saudaraku, selama ada dalil umum yang membolehkan, maka mengenai tekhnisnya berjamaah atau tidak, dapat diatur menurut kondisi dan keadaan.

Pelaksanaan mengisi malam Nishfu Sya’ban diberjamaahkan ini pertama kali dilakukan oleh ulama tabi’in yang bernama Khalid bin Ma’dan, lalu diikuti oleh ulama tabi’in lainnya seperti Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya. Bahkan terus berlanjut dan menjadi tradisi ulama Syam dan Bashrah sampai saat ini.

Meski tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, kami lebih condong untuk mengatakan tidak mengapa dan tidak dilarang. Tidak semua yang tidak dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selama ada hadits dan qaidah umum yang membolehkan, maka mengenai tehnis, apakah diberjamaahkan atau sendiri-sendiri, semuanya diserahkan kepada masing-masing dan tentu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana tradisi takbir berjamaah pada malam hari raya.

Hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Rasulullah saw dan para sahabat hanya melakukannya di rumah masing-masing. Tradisi berjamaah membaca takbir pada malam Hari Raya ini pertama kali dilakukan oleh seorang ulama tabi’in yang bernama Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad. Dan tradisi ini pun sampai saat ini masih diberlakukan dan diamalkan hampir di seluruh negara-negara muslim.

Demikian juga dengan shalat Tarawih diberjamaahkan. Rasulullah saw hanya melakukannya satu, dua atau tiga malam saja secara berjamaah. Setelah itu, beliau melakukannya sendiri. Dan hal ini berlaku juga sampai masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq serta pada permulaan khalifah Umar bin Khatab. Setelah Umar bin Khatab masuk ke sebuah mesjid dan menyaksikan orang shalat tarawih sendiri-sendiri, akhirnya beliau melihat alangkah lebih baiknya apabila diberjamaahkan. Sejak itu, beliau manunjuk sahabat Rasulullah saw yang bernama Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam pertama shalat Tarawih diberjamaahkan. Tradisi ini juga berjalan dan terus dipraktekkan sampai sekarang ini.

Kalaulah shalat qiyamu Ramadhan (Tarawih) yang beliau lakukan selalu tidak berjamaah dengan sahabat, kecuali hanya 1-3 malam saja, boleh dilakukan secara berjamaah, lalu takbir malam ‘Ied juga boleh dilakukan secara berjamaah, mengapa shalat Muthlaq malam nisfu Sya’ban (untuk menyingkat selanjutnya disebut “shalat Nisfu Sya’ban”) tidak boleh dilakukan berjamaah? Tentu ini tidak fair.

Di zaman Rasul, para sahabat dengan melihat rasul qiyamul layl saja mereka sudah melakukannya. Namun di akhir zaman ini jika ada ustad berkata, “wahai umat Islam, shalat tarawih yang dilakukan Rasul tidak berjamaah dan dilakukan di tengah malam (bukan ba’da Isya langsung). Oleh karena itu shalatlah sendiri-sendiri nanti malam.” Yang shalat tarawih pasti sedikit. Kecuali instruksi itu untuk bangun malam dalam rangka menyaksikan final piala dunia antara Italia Vs Spanyol insya Allah jamaahnya banyak meskipun jam 1.30 malam.

Jadi kondisi zaman mengarahkan untuk shalat tarawih secara berjamaah.

Begitu pula dengan shalat nisfu Sya’ban. Di akhir zaman ini, Kalau shalat Nisfu Sya’ban (apalagi jika 100 raka’at) dilakukan hanya boleh sendiri-sendiri, saya yakin sangat-sangat sedikit orang yang mau menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Namun kalau dilakukan secara berjamaah, satu sama lain dapat saling memotivasi sehingga lebih semangat.

Pertanyaan Keempat:
Terlebih lagi dalam shalat nisfu Sya’ban, mereka menetapkan jumlah 100 rakaat. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasul.
Ada beberapa alasan mengapa saya shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat:

1. Karena shalat nisfu Sya’ban termasuk shalat Muthlaq, maka jumlahnya bebas. 10 rakaat boleh, 20, 30, bahkan 100 rakaat juga boleh. Kalau kita sanggup 1.000 rakaat juga tidak ada yang melarang, karena shalat Muthlaq. Mengapa kita berani melarang jumlah tertentu dalam shalat Muthlaq? Apakah kalau 99 rakaat boleh, 101 juga boleh lalu khusus 100 rakaat tidak boleh?
Nabi SAW pernah berkata kepada Bilal, sesudah mengerjakan shalat Shubuh sebagaimana berikut: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang engkau kerjakan dalam Islam yang penuh dengan pengharapan karena aku mendengar suara sandalmu di depanku di syurga”. Bilal menjawab tidak pernah aku melakukan suatu perbuatan yang saya harapkan kebaikannya, melainkan pasti aku bersuci dahulu, baik saatnya malam hari atau siang hari. Sesudah aku bersuci aku melakukan shalat sebanyak yang dapat kulakukan”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim) Jabir bin Hayyan, penemu ilmu Kimia sekaligus orang pertama memperoleh julukan Sufi, melakukan shalat Muthlaq 400 rakaat sebelum memulai penelitian.
Kalau ada seseorang menganjurkan untuk shalat nisfu Sya’ban 77 rakaat karena dia senang dengan angka 7, boleh saja. Namun daripada saya mengikuti dia, lebih baik saya mengikuti para ulama yang shalih.
2. Banyak ulama-ulama shalih yang ahli ma’rifat seperti syekh Abdul Qadir Jailani melakukan shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat, begitu pula dengan imam Ghazali dan ulama lainnya. Maka tidak ada salahnya jika kita mengikuti beliau. (baca juga dasar hukum shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dll di tqn-jakarta.org)
Dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepadaKu (Luqman 31:15)
3. Jumlah 100 rakaat ada hadisnya. Meskipun banyak orang yang menolak hadis tersebut. Namun Imam Ahmad berkata, “hadis dhaif lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang”.

Pertanyaan Kelima:
Bacaan dalam shalat Nisfu Sya’ban (al-Ikhlas 10 kali setelah al-Fatihah, sehingga dikallikan 100 rakaat menjadi 1.000 kali membaca al-Ikhlas) adalah bacaan yang mengada-ada. Tidak pernah dilakukan juga oleh Rasul.
Bacaan yang dibaca dalam shalat nisfu Sya’ban setelah al-Fatihah terserah. Ayat manapun termasuk al-Ikhlas boleh dibaca dalam shalat asalkan ayat al-Qur’an. Tidak ada juga ketentuan bahwa surat al-Ikhlas tidak boleh dibaca beberapa kali dalam satu rakaat.

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. (QS. Al-Muzammil:20)

Imam masjid Quba selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no. 741).
Kesimpulannya, shalat Muthlaq pada malam nisfu Sya’ban secara berjamaah sebanyak 100 rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas 10 kali setiap bada Fatihah DIBOLEHKAN. Jangan sampai kita mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Kalau nabi saja tidak boleh apalagi kita. Teknis shalat Nisfu Sya’ban silakan dilihat di tqn-jakarta.org.

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
HAI NABI, MENGAPA KAMU MENGHARAMKAN APA YANG ALLAH HALALKAN BAGIMU (QS. At-Tahrim:6)

Wallahu a’lam bis shawab.

Tentang satriaswaja

Hanya santri biasa yang ingin melihat dunia dalam naungan Islam Rahmatan Lil 'Alamiin
Pos ini dipublikasikan di Kajian Aswaja, Masail Fiqh, Ubudiyah dan tag , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Amalan Malam Nishfu Sya’ban dan Fadhilahnya

  1. Zam Terban berkata:

    Syukron akhy, semoga bisa mengamalkanya nanti malam

Komentar Sahabat